Kamis, 17 Juli 2014

Berenang (chapter 1)

Pernah dengar cerita 3 sekawan ? cerita dengan pertemanan 3 anak manusia, yang kemudian bisa disebut sahabat. Dan gue dulu juga punya. Gue punya 2 sahabat. Nama mereka Rio, Dan Wahyu. Rio anaknya nge-leader banget diantara kami. Supel dan penuh bau petualangan. Sedangkan Wahyu adalah tangan kanannya Rio. Dan paling suka berebut pendapat diantara kami. Dan peran gue adalah sebagai kambing hitam. Orang yang selalu abstain dari rencana rencana busuk mereka.

Gue, Rio, dan Wahyu adalah temen deketan rumah, satu SD, satu Kelas, sayangnya nggak satu bangku. Karena gak muat satu bangku bertiga. Dulu waktu masih SD gue tinggal sama nenek gue. Karena bokap kerja di desa kampung halaman gue sebagai manajer sebuah perusahaan perkebunan. Nah rumah nenek gue itu, berada di kawasan ‘hampir’ di tengah kota Palembang. Nama kawasannya Pahlawan, diambil dari Taman Makam Pahlawan yang emang bener rumah nenek gue tersebut berada di kawasan tepat dibelakang Taman Makam Pahlawan tersebut. Nah gue sekolah di deket situ tuh.

 Berkat dateng dan belajar di sekolah serta kelas yang sama, kelas 4d, akhirnya terbentuklah 3 sekawan yang ngawur ini. Awalnya sih, Cuma saling tegur sapa karena arah jalan balik kerumah kami sama. Eh jadi akrab. Namanya juga bocah SD. Sangking akrabnya kami dulu, pernah aja kita nyoba buat jadi gang preman di kampung gue waktu itu. Sayangnya gagal. Kalah saingan sama anak-anak yang lebih gede badannya dari kami, dan mental mereka juga lebih gede dari kami.

 Dulu, mainnya gue teratur. Pulang sekolah, belajar bentar, lanjut nonton kartun di TV7 ( sekarang trans7 ), sampe matahari nggak nyengat lagi. Baru deh sore maen. Rio sama Wahyu samaan jadwal nya sama gue. Bedanya mereka mungkin nggak ada schedule belajar-nya kali ya ?

Jadi pada sore itu, kami bertiga main kelereng di depan rumahnya Rio (dulu belum ada pesbuk sama game online, jadi anak SD  jaman itu masih pada main kelereng sama tajoz) dan juga karena emang lagi musim kelereng pada waktu itu. Permainan adu kelereng. Kalo istilah anak Palembang sih “jim-an”, maksudnya kami main sambil ngadu kelereng mana yang paling kuat. Jadi mainnya kita lemparin kelerengnya sampe di tentuin yang mana paling jauh tapi gak boleh lewat sampe garis yang ditentuin, yang paling dekat dengan garis, maka dia berhak giliran pertama. Nanti kelerengnya di tembak-in pake jari yang dibentuk sedemikian rupa, supanya kelereng tadi meluncur deras dan beradu sama kelereng musuh.  Mainnya bebas gak ditentuin berapa orang.

Karena gue selalu abstain, dan selalu ngucapin kata ‘ayok’, jadilah kami bermain kelereng seminggu ini walau gue selalu kalah. Dari siang menjelang sore, sampe sore menjelang magrib. Karena keasyikan main, kami jadi lupa waktu.

Lagi asyik main, Pak Su’ep, seorang Tukang Becak yang tinggal di sebelah rumah Rio kelihatan baru pulang. Dengan mengondol tas Lonjong gede dan sebuah ember ditangannya.

“wah wah, pada asik nih. Ikutan dong !” seru Pak Su’ep .

Serontak kami bertiga menggeleng. Kami sudah tahu, kalo Pak su’ep jagonya bukan maen. Pernah aja, anak kampung sebelah yang ikutan main sama kami, dibuat sampe nangis bombay karena kelerengnya kena tembakan kelereng Pak su’ep. Dan hebatnya kelereng tadi pecah jadi dua bagian. Gila nggak ? Mungkin Pak Su’ep menganggap kalo nggak menang bakalan malu, jadi dia ngeluarin semua teknik yang dia punya. Childish banget deh.


Mendengar penolakan dari kami, dengan wajah cemberut Pak su’ep duduk di dekat kami main sambil ngeluarin rokok kretek dari sakunya kemudian membakarnya. Dengan pongah dan hembusan rokok yang mengepul, Pak Su’ep mengejek setiap tembakan-tembakan dari masing-masing kelereng kami.

“Cih, tembakan apa itu ? cewek aja bisa nembak kayak gitu” ledeknya saat Rio akan menembak. Dan alhasil tembakan Rio malah mengarah ke arah sebaliknya.

“Halah telunjuknya jangan digituin! Diginiin nih” ujarnya sambil meragain saat gue lagi siap-siap melepas tembakan maut. Tembakan gue emang gak meleset, tapi telunjuk gue gak nyentuh kelereng sama sekali. Dan giliranku pun lewat. Begitu terus sampai kami semakin jengkel. Dan akhirnya kami berhenti main lantas sepakat buat pulang.

“eh ? pada mau kemana ?” tanya beliau.

“Bapak gak asyik ah, gak diajak malah gugupin kita main” Ini Rio yang ngomong.

Pak Su’ep hanya tertawa dan memandangi wajah polos kami bertiga. Dan berkata dia hanya bercanda. Yaa, namanya juga anak kecil, diledekin kayak gitu kalo nggak ngambek ya marah. Dan akhirnya Pak Su’ep membujuk kami dengan ceritanya hari ini. Pak Su’ep memang tukang becak. Tapi menarik Becak bukan satu-satunya mata pencariannya. Dia punya semacam warung Agen sembako di pasar yang di jalankan anaknya. Jadi dia bisa leyeh-leyeh dirumah. Kalau nggak mancing, ya ngerawat ayam jago kesayangannya gitu. Sampe sore. Iya dari pagi sampe sore.

Jadi ceritanya hari ini dia pergi memancing di Empang di dekat Perumahan Warga Tionghoa bersama temannya. Karena disana katanya ikannya banyak ! ( namanya juga empang -__- ). Ember yang di bawanya tadi isinya banyak Ikan. Kami pun berebut melihat tangkapan Pak Su’ep. Yang ditangkap Pak Su’ep, ternyata banyak ! Ada bermacam ikan di sana. Ada Hiu, Paus Pembunuh, Paus Biru, sampai Lumba-lumba Pink ( tempat beliau mancing itu, empang ato Samudra Pasifik ya ? ). Kami yang masih ingusan menatap ikan tangkapan Pak Su’ep dengan mata berbinar.

Dengan mimik wajah pongah sekaligus senang, Pak Su’ep mulai sombong. Akhirnya kata Ajaib pun dengan sukses terdengar di telinga kami.

“Lusa kan hari minggu, Bapak mau mancing lagi. Kalian mau ikut ?”

Dan merdeka mengaung. Kami bertiga mengangguk serentak dengan kencang  (sebenernya saat itu Rio malah berteriak “ALLAH HU AKBAR” ).

“aku mau pinjam pancing bapakku”  Ujar Rio

“kalo aku mau minta belikan pancing sama Emak” Jawab Wahyu tak mau kalah.

“Aku mau bawa bekal yang banyak lusa nanti” Seketika Pak Su’ep, Rio, dan Wahyu menatap gue heran. Dan gue nyengir kuda. Polos.

Lalu kami disuruh pulang oleh Pak Su’ep karena langit sudah berwarna oranye. Dengan Janji Pak Su’ep yang telah kami kantongi, bahwa Beliau mau mengajak kami memancing lusa nanti. Hahaha. Gue masih terngiang nyanyian Rio waktu itu.

“aku ingin mancing itu, aku ingin mancing ini, aku mancing ini mancing itu banyak sekali” ( nyanyiin-nya pake nada lagu doraemon ya adik-adik). Kami pulang dengan wajah sumringah. Dan Agak nggak sabar menunggu hari minggu, lusa nanti.

Sabar aja. Nanti bakalan diceritain dimana posisi Berenangnya. Bersambung dulu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar