Pernah dengar cerita 3 sekawan ?
cerita dengan pertemanan 3 anak manusia, yang kemudian bisa disebut sahabat.
Dan gue dulu juga punya. Gue punya 2 sahabat. Nama mereka Rio, Dan Wahyu. Rio
anaknya nge-leader banget diantara
kami. Supel dan penuh bau petualangan. Sedangkan Wahyu adalah tangan kanannya
Rio. Dan paling suka berebut pendapat diantara kami. Dan peran gue adalah
sebagai kambing hitam. Orang yang selalu abstain dari rencana rencana busuk
mereka.
Gue, Rio, dan Wahyu adalah temen deketan
rumah, satu SD, satu Kelas, sayangnya nggak satu bangku. Karena gak muat satu
bangku bertiga. Dulu waktu masih SD gue tinggal sama nenek gue. Karena bokap
kerja di desa kampung halaman gue sebagai manajer sebuah perusahaan perkebunan.
Nah rumah nenek gue itu, berada di kawasan ‘hampir’ di tengah kota Palembang. Nama
kawasannya Pahlawan, diambil dari Taman Makam Pahlawan yang emang bener rumah
nenek gue tersebut berada di kawasan tepat dibelakang Taman Makam Pahlawan
tersebut. Nah gue sekolah di deket situ tuh.
Berkat dateng dan belajar di sekolah serta
kelas yang sama, kelas 4d, akhirnya terbentuklah 3 sekawan yang ngawur ini. Awalnya
sih, Cuma saling tegur sapa karena arah jalan balik kerumah kami sama. Eh jadi
akrab. Namanya juga bocah SD. Sangking akrabnya kami dulu, pernah aja kita
nyoba buat jadi gang preman di kampung gue waktu itu. Sayangnya gagal. Kalah
saingan sama anak-anak yang lebih gede badannya dari kami, dan mental mereka
juga lebih gede dari kami.
Dulu, mainnya gue teratur. Pulang sekolah,
belajar bentar, lanjut nonton kartun di TV7 ( sekarang trans7 ), sampe matahari nggak nyengat lagi. Baru deh sore
maen. Rio sama Wahyu samaan jadwal nya sama gue. Bedanya mereka mungkin nggak
ada schedule belajar-nya kali ya ?
Jadi pada sore itu, kami bertiga
main kelereng di depan rumahnya Rio (dulu
belum ada pesbuk sama game online, jadi anak SD jaman itu masih pada main kelereng sama tajoz)
dan juga karena emang lagi musim kelereng pada waktu itu. Permainan adu
kelereng. Kalo istilah anak Palembang sih “jim-an”,
maksudnya kami main sambil ngadu kelereng mana yang paling kuat. Jadi mainnya
kita lemparin kelerengnya sampe di tentuin yang mana paling jauh tapi gak boleh
lewat sampe garis yang ditentuin, yang paling dekat dengan garis, maka dia
berhak giliran pertama. Nanti kelerengnya di tembak-in pake jari yang dibentuk
sedemikian rupa, supanya kelereng tadi meluncur deras dan beradu sama kelereng
musuh. Mainnya bebas gak ditentuin
berapa orang.
Karena gue selalu abstain, dan
selalu ngucapin kata ‘ayok’, jadilah kami bermain kelereng seminggu ini walau
gue selalu kalah. Dari siang menjelang sore, sampe sore menjelang magrib. Karena
keasyikan main, kami jadi lupa waktu.
Lagi asyik main, Pak Su’ep,
seorang Tukang Becak yang tinggal di sebelah rumah Rio kelihatan baru pulang. Dengan
mengondol tas Lonjong gede dan sebuah ember ditangannya.
“wah wah, pada asik nih. Ikutan
dong !” seru Pak Su’ep .
Serontak kami bertiga menggeleng.
Kami sudah tahu, kalo Pak su’ep jagonya bukan maen. Pernah aja, anak kampung
sebelah yang ikutan main sama kami, dibuat sampe nangis bombay karena
kelerengnya kena tembakan kelereng Pak su’ep. Dan hebatnya kelereng tadi pecah jadi
dua bagian. Gila nggak ? Mungkin Pak Su’ep menganggap kalo nggak menang bakalan
malu, jadi dia ngeluarin semua teknik yang dia punya. Childish banget deh.
Mendengar penolakan dari kami, dengan
wajah cemberut Pak su’ep duduk di dekat kami main sambil ngeluarin rokok kretek
dari sakunya kemudian membakarnya. Dengan pongah dan hembusan rokok yang
mengepul, Pak Su’ep mengejek setiap tembakan-tembakan dari masing-masing
kelereng kami.
“Cih, tembakan apa itu ? cewek
aja bisa nembak kayak gitu” ledeknya saat Rio akan menembak. Dan alhasil
tembakan Rio malah mengarah ke arah sebaliknya.
“Halah telunjuknya jangan
digituin! Diginiin nih” ujarnya sambil meragain saat gue lagi siap-siap melepas
tembakan maut. Tembakan gue emang gak meleset, tapi telunjuk gue gak nyentuh
kelereng sama sekali. Dan giliranku pun lewat. Begitu terus sampai kami semakin
jengkel. Dan akhirnya kami berhenti main lantas sepakat buat pulang.
“eh ? pada mau kemana ?” tanya
beliau.
“Bapak gak asyik ah, gak diajak
malah gugupin kita main” Ini Rio yang ngomong.
Pak Su’ep hanya tertawa dan
memandangi wajah polos kami bertiga. Dan berkata dia hanya bercanda. Yaa,
namanya juga anak kecil, diledekin kayak gitu kalo nggak ngambek ya marah. Dan
akhirnya Pak Su’ep membujuk kami dengan ceritanya hari ini. Pak Su’ep memang
tukang becak. Tapi menarik Becak bukan satu-satunya mata pencariannya. Dia
punya semacam warung Agen sembako di pasar yang di jalankan anaknya. Jadi dia
bisa leyeh-leyeh dirumah. Kalau nggak
mancing, ya ngerawat ayam jago kesayangannya gitu. Sampe sore. Iya dari pagi
sampe sore.
Jadi ceritanya hari ini dia pergi
memancing di Empang di dekat Perumahan Warga Tionghoa bersama temannya. Karena
disana katanya ikannya banyak ! ( namanya
juga empang -__- ). Ember yang di bawanya tadi isinya banyak Ikan. Kami pun berebut melihat tangkapan
Pak Su’ep. Yang ditangkap Pak Su’ep, ternyata banyak ! Ada bermacam ikan di
sana. Ada Hiu, Paus Pembunuh, Paus Biru, sampai Lumba-lumba Pink ( tempat beliau mancing itu, empang ato Samudra
Pasifik ya ? ). Kami yang masih ingusan menatap ikan tangkapan Pak Su’ep
dengan mata berbinar.
Dengan mimik wajah pongah
sekaligus senang, Pak Su’ep mulai sombong. Akhirnya kata Ajaib pun dengan
sukses terdengar di telinga kami.
“Lusa kan hari minggu, Bapak mau
mancing lagi. Kalian mau ikut ?”
Dan merdeka mengaung. Kami
bertiga mengangguk serentak dengan kencang (sebenernya saat itu Rio malah berteriak “ALLAH
HU AKBAR” ).
“aku mau pinjam pancing
bapakku” Ujar Rio
“kalo aku mau minta belikan
pancing sama Emak” Jawab Wahyu tak mau kalah.
“Aku mau bawa bekal yang banyak
lusa nanti” Seketika Pak Su’ep, Rio, dan Wahyu menatap gue heran. Dan gue
nyengir kuda. Polos.
Lalu kami disuruh pulang oleh Pak
Su’ep karena langit sudah berwarna oranye. Dengan Janji Pak Su’ep yang telah
kami kantongi, bahwa Beliau mau mengajak kami memancing lusa nanti. Hahaha. Gue
masih terngiang nyanyian Rio waktu itu.
“aku ingin mancing itu, aku ingin
mancing ini, aku mancing ini mancing itu banyak sekali” ( nyanyiin-nya pake nada lagu doraemon ya adik-adik). Kami pulang dengan wajah sumringah. Dan Agak nggak sabar menunggu hari minggu, lusa nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar