Jumat, 18 Juli 2014

Berenang (chapter 2)

Dan hari minggu yang ditunggu pun datang.
Kami semua sudah siap nungguin Pak Su’ep di dekat rumah Rio. Pak Su’ep pun juga lagi siap-siap. Sambil nunggu, Rio memamerkan pancing Ayahnya yang ‘katanya’ dibeli dengan harga mahal. Wahyu yang tak mau kalah, memamerkan Pancing yang dibelinya bersama Emaknya di Pasar Pagi. Dan gue memandang mereka sambil makan kacang kulit. Mereka menatap gue dengan sinis.

“kenapa kamu gak bawa pancingan ky ?” Tanya Rio

“aku bawa celana renang kok”  Jawabku

Baru saja mereka reda mandangin gue dengan pandangan ‘hah ?’ , Pak Su’ep datang dan ngajakin kami pergi. Dan kami segera berjalan menuju empang.

“ Kamu gak mancing ky ? Kok kamu malah bawa celana renang sama kacang ? “ Rio penasaran. Aku malah menawarkan kacang padanya. Rio mandang bentar, lalu nyomot dikit. Pak Su’ep nahan senyum geli ngeliat tingkah kami.

Kami bertiga berjalan agak cepat karena tak sabar menuju empang yang disebutkan Pak Su’ep. Sambil bernyanyi lagu yang Rio nyanyiin kemaren.

“aku ingin mancing itu, aku ingin mancing ini, aku ingin mancing ini mancing itu banyak sekali”

Kami kayak penyanyi EL DIVO yang lagi konser sambil memperagakan langkah tegak maju kayak tentara yang siap nyambut hujanan peluru dari arah depan kami. Dan Ketika sudah lama berjalan, Rio pun ingat, dia lupa mengunci pintu rumahnya. Ayah dan ibunya sedang berjualan Ikan di pasar, dan dirumahnya otomatis gak ada orang karena adiknya pasti diajak. Sekelebat dengan panik Rio berlari layaknya superman lagi kebelet pipis. Saat Rio udah hilang dari pandangan, gue dan Wahyu saling bertatapan, lalu menatap Pak Su’ep.

“baiklah kita tunggu Rio datang lagi kesini” Pak Su’ep ngerti arti dari tatapan minta keputusan dari kami.

Tapi setelah kelamaan nunggu, Rio gak nongol-nongol juga batang kakinya. Yang ada hanya hembusan angin kering, karena sang matahari lagi sedang menunjukkan bahwa ialah sang surya lantas menyinari kami dengat sengatan sinarnya yang subhanallah amat panas (lah ? kenapa jadi puitis ?).

Pak Su’ep ngeliatin jam di tangannya, sambil berkata,

“yaudah kita jalan terus aja, Rio nanti nyusul”

 Gue dan Wahyu menggeleng nggak setuju. Karena pantang bagi geng preman kami, meninggalkan seorang teman. Karena bola itu teman ! ( tsubasa kaleee ) Lalu dijelasin, kalo Rio udah tahu tempatnya. Karena Su’ep udah nyeritain detail sama dia kemarin sore.

Karena kami berjalan agak jauh, badan gue yang masih berstatus bocah mulai menunjukkan capek.

“pak, udah sampe belum pak ? aku capek nih” ujar gue sambil menepi dibawah pohon rambutan.

Pak Su’ep lalu geleng-geleng kepala, sambil melanjutkan langkahnya diikuti wahyu. Gue pun mau tak mau mengikuti mereka. Takut kesasar. Lalu, setelah berjalan agak lama, kami melewati sebuah Pabrik Rotan yang sudah lama nggak kepake.

“nah, empang itu ada dibelakang pabrik ini....”

Belum selesai Pak Su’ep melanjutkan kalimatnya,wajah gue yang letih berjalan berubah sumringah dan mempercepat langkah kaki gue yang masih kecil. Wahyu dengan serta merta mengeluarkan pancing nya sambil duduk santai sambil mempersiapkan kail.

“setelah itu kita ngelewatin Komplek warga Tionghoa, dan akhirnya sampai” ujar Pak Su’ep menrasa menang mempermainkan kami.

Wahyu manyun dan membungkus kembali pancing nya. Lalu berjalan menyusul gue dan Pak Su’ep. Belum 5 menit berjalan, lagi-lagi gue bersikap kekanak-kanakan. Gue mengeluh capek, dan duduk manis dibawah pohon jambu dipinggir jalan. Wahyu juga ikut duduk di sampingku. Capek juga katanya.

“Nanti bapak tinggal loh !” seru Pak Su’ep.

Ngeliatin kami yang emang lagi ngaso gak jelas karena capek, Pak Su’ep mulai ngeluarin jurus jahil yang biasa dia pake.

“denger – denger, di pabrik ini ada hantu tuyul loh !”

Wahyu melotot. Aku santai dan ngejawab,

“Tuyul itu setan pak, bukan Hantu” Dan dibalas dengan tatapan benci dari Pak Su’ep.

“denger – denger, selain ada SETAN tuyul, disini juga ada Kuntilanak loh !!!”

Kata setan emang sengaja beliau tekankan.


Kami berdua tak mengubris perkataan Pak Su’ep. Pikir kami, kalau kami berhenti Pak Su’ep bakalan berhenti juga. Ternyata praduga dan prasangka kami salah. Pak Su’ep tak menghentikan langkahnya. Kami pun pasrah. Dan akan berlari menyusulnya. Setelah berlari agak lama, dan capek yang kami rasakan bertambah, kami pun berhenti. Lalu sadar bahwa di depan kami gak ada siluet dari Pak Su’ep. Dan kami sukses kesasar. Yaa, tersesat/kesasar/lost/etc.

Gue dan Wahyu bingung mau bagaimana. Gue mulai experimen dengan mengulum telunjuk dan mengangkatnya ke udara agar tahu arah mana yang Pak Su’ep tuju. Kemana arah angin menerpa telunjuk gue, ke arah sanalah kami berjalan. Dan akhirnya kami makin tersesat lebih dalam, dan lebih dalam, jauh lebih dalam.

 Kami berhenti di Komplek perumahan yang kami kira luasnya lebih dari kota palembang. karena kami tak pernah menemukan jalan keluar dari sana. Karena semakin panik, kami berniat berteriak. Berharap warga disana menolong. Tapi kami urungkan karena takut rumor bahwa warga Tionghoa disana adalah jelmaan siluman babi, itu benar.

“kita dimana yu ?” tanyaku cemas

“kita di komplek cina ky, komplek yang isinya orang cina semua”

“JADI SEKARANG KITA NYASAR DI CINA ?”

Gue tambah panik. Wahyu tambah bete.

Sebenarnya kalo kami bisa keluar dari komplek tersebut, kami bisa dengan mudah sampai di empang. Dan dasar kami yang bebal, kami berjalan mengitari setiap lorong komplek yang sama. Dan herannya kami tak melihat penampakan dari seorang manusia pun. Ini semua warganya pada kemana ya ? gitu pikir gue.

Setelah berjalan lagi dan tersesat lagi. Akhirnya solusi bin ajaib keluar dari otak Wahyu. Lantas dia mengeluarkan pancing dari bungkusnya. Lalu menegakkan batang pancing itu layaknya tiang bendera di sekolah.

“cup.. cup.. kembang kuncup, kalo nggak kuncup bearti udah mekar.Wahai batang ajaib, berikan kami arah yang benar”

Mantra setan keluar dari bibir Wahyu. Lalu dengan gugup batang pancing itu dijatuhkannya. Plok... momen batang itu jatuh, layaknya slow motion seorang Neo mau ditembak musuh. Efek slow motion seketika aktif. Batang itu menujukkan arah ke sebuah rumah besar di depan kami. Aku dan Wahyu bertatapan hening.

“kamu yakin yu, ini jalan yang bener ?” tanya gue.

“pancing ajaib yang kubeli di pasar pagi ini berkata gitu ky. Aku yakin” jawab wahyu sambil memanjat pagar  rumah yang tadi ditunjuk pancingnya tadi.

Akhirnya dengan susah payah, gue berhasil menyusul wahyu berada di dalam pagar rumah tadi. Kami mengendap-endap masuk ke arah halaman belakang berharap menemukan empang yang Pak Su’ep maksud ada dirumah ini. Dan yang kami temukan bukanlah empang, melainkan Kolam besar berisi air warna biru yang tampaknya memanggil kami supaya nyebur kedalam nya. Dan disekeliling kolam itu seakan ada taman yang sengaja dibuat mengelilingi kolam.

Gue mengubah arah tujuan. Hendak masuk ke kolam itu. Dan langsung dicegat Wahyu sambil melotot. Gue mengurungkan niat gue. Dan kembali mengikuti wahyu dari belakang. Kami kembali mengendap-endap.

“GUK !” sebuah suara menggelegar dari arah belakang kami.

Gue dan Wahyu saling menatap dan memperhatikan sekitar. Nihil. Kami tak mendapati asal suara itu. Kami melanjutkan berjalan perahan kearah ujung taman itu.

“GUK ! GUK !”

Suara itu semakin mendekat saat kebebalan merasuki isi kepala kami. Dan masih melanjutkan berjalan perlahan.

Tiba-tiba, ada sebuah bayangan melompat ke arah depan kami. Gue dan Wahyu kaget bukan main. Dan gue langsung berlutut minta pengampunan Allah. Gue lihat Wahyu diam tanpa berkata apa-apa sambil bertingkah kayak ketakutan. Dan memang dia lagi ketakutan !

“GUK ! GUK ! GUK ! GUK !”

Kali ini sumber suara itu berada tepat di depan kami. Seekor anjing Helder besar dan seram berwarna coklat gelap menatap bengis ke arah kami.

“jangan lari. Dia gak akan ngejar kalo kita gak lari” Wahyu berbisik sambil menarik baju gue dari posisi yang entah sejak kapan gue sudah siap untuk berlari.

Gue mengangguk lalu diam. Dan kembali menatap ketakutan. Berharap ada tulang yang terjatuh tepat di depan anjing itu agar dia amnesia dengan keberadaan kami lalu jinak.

Dan harapan gue sirna. Perlahan Anjing itu mendekat dengan gumaman seram. Menatap tajam dengan matanya yang menakutkan. Aku semakin gemetar. Wahyu mundur perlahan sambil menarik tangan gue. Dan anjing itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Dan bersiap melompat dengan gigi-nya hendak menerkam kami. Aku memejamkan mata. Wahyu menatap siaga. Entah apa yang hendak dilakukannya.

Saat anjing Helder itu semakin mengurangi jarak antara kami, sebuah teriakan mengagetkan terdengar.

“BAMBANG, BERHENTI !”  

“Bambang ?” sontak kami berdua mengucapkan kata tersebut bersamaan dan saling pandang.

Sebuah suara merdu menusuk telinga gue, telinga Wahyu, dan telinga Bambang, yang membuat kami serentak menoleh ke arah sumber suara tersebut.

Dan ternyata.... bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar