Dan hari minggu yang ditunggu pun
datang.
Kami semua sudah siap nungguin Pak Su’ep di dekat rumah Rio. Pak Su’ep
pun juga lagi siap-siap. Sambil nunggu, Rio memamerkan pancing Ayahnya yang
‘katanya’ dibeli dengan harga mahal. Wahyu yang tak mau kalah, memamerkan
Pancing yang dibelinya bersama Emaknya di Pasar Pagi. Dan gue memandang mereka
sambil makan kacang kulit. Mereka menatap gue dengan sinis.
“kenapa kamu gak bawa pancingan
ky ?” Tanya Rio
“aku bawa celana renang kok” Jawabku
Baru saja mereka reda mandangin gue
dengan pandangan ‘hah ?’ , Pak Su’ep datang dan ngajakin kami pergi. Dan kami
segera berjalan menuju empang.
“ Kamu gak mancing ky ? Kok kamu
malah bawa celana renang sama kacang ? “ Rio penasaran. Aku malah menawarkan
kacang padanya. Rio mandang bentar, lalu nyomot dikit. Pak Su’ep nahan senyum
geli ngeliat tingkah kami.
Kami bertiga berjalan agak cepat
karena tak sabar menuju empang yang disebutkan Pak Su’ep. Sambil bernyanyi lagu
yang Rio nyanyiin kemaren.
“aku ingin mancing itu, aku ingin
mancing ini, aku ingin mancing ini mancing itu banyak sekali”
Kami kayak penyanyi EL DIVO yang
lagi konser sambil memperagakan langkah tegak maju kayak tentara yang siap
nyambut hujanan peluru dari arah depan kami. Dan Ketika sudah lama berjalan,
Rio pun ingat, dia lupa mengunci pintu rumahnya. Ayah dan ibunya sedang berjualan
Ikan di pasar, dan dirumahnya otomatis gak ada orang karena adiknya pasti
diajak. Sekelebat dengan panik Rio berlari layaknya superman lagi kebelet pipis. Saat Rio udah hilang dari pandangan, gue
dan Wahyu saling bertatapan, lalu menatap Pak Su’ep.
“baiklah kita tunggu Rio datang
lagi kesini” Pak Su’ep ngerti arti dari tatapan minta keputusan dari kami.
Tapi setelah kelamaan nunggu, Rio
gak nongol-nongol juga batang kakinya. Yang ada hanya hembusan angin kering,
karena sang matahari lagi sedang menunjukkan bahwa ialah sang surya lantas
menyinari kami dengat sengatan sinarnya yang subhanallah amat panas (lah ? kenapa jadi puitis ?).
Pak Su’ep ngeliatin jam di
tangannya, sambil berkata,
“yaudah kita jalan terus aja, Rio
nanti nyusul”
Gue dan Wahyu menggeleng nggak setuju. Karena pantang bagi geng
preman kami, meninggalkan seorang teman. Karena bola itu teman ! ( tsubasa kaleee ) Lalu dijelasin, kalo
Rio udah tahu tempatnya. Karena Su’ep udah nyeritain detail sama dia kemarin
sore.
Karena kami berjalan agak jauh, badan
gue yang masih berstatus bocah mulai menunjukkan capek.
“pak, udah sampe belum pak ? aku
capek nih” ujar gue sambil menepi dibawah pohon rambutan.
Pak Su’ep lalu geleng-geleng
kepala, sambil melanjutkan langkahnya diikuti wahyu. Gue pun mau tak mau
mengikuti mereka. Takut kesasar. Lalu, setelah berjalan agak lama, kami
melewati sebuah Pabrik Rotan yang sudah lama nggak kepake.
“nah, empang itu ada dibelakang pabrik
ini....”
Belum selesai Pak Su’ep
melanjutkan kalimatnya,wajah gue yang letih berjalan berubah sumringah dan
mempercepat langkah kaki gue yang masih kecil. Wahyu dengan serta merta
mengeluarkan pancing nya sambil duduk santai sambil mempersiapkan kail.
“setelah itu kita ngelewatin
Komplek warga Tionghoa, dan akhirnya sampai” ujar Pak Su’ep menrasa menang
mempermainkan kami.
Wahyu manyun dan membungkus
kembali pancing nya. Lalu berjalan menyusul gue dan Pak Su’ep. Belum 5 menit
berjalan, lagi-lagi gue bersikap kekanak-kanakan. Gue mengeluh capek, dan duduk
manis dibawah pohon jambu dipinggir jalan. Wahyu juga ikut duduk di sampingku.
Capek juga katanya.
“Nanti bapak tinggal loh !” seru
Pak Su’ep.
Ngeliatin kami yang emang lagi
ngaso gak jelas karena capek, Pak Su’ep mulai ngeluarin jurus jahil yang biasa
dia pake.
“denger – denger, di pabrik ini
ada hantu tuyul loh !”
Wahyu melotot. Aku santai dan
ngejawab,
“Tuyul itu setan pak, bukan
Hantu” Dan dibalas dengan tatapan benci
dari Pak Su’ep.
“denger – denger, selain ada
SETAN tuyul, disini juga ada Kuntilanak loh !!!”
Kata setan emang sengaja beliau
tekankan.
Kami berdua tak mengubris
perkataan Pak Su’ep. Pikir kami, kalau kami berhenti Pak Su’ep bakalan berhenti
juga. Ternyata praduga dan prasangka kami salah. Pak Su’ep tak menghentikan
langkahnya. Kami pun pasrah. Dan akan berlari menyusulnya. Setelah berlari agak
lama, dan capek yang kami rasakan bertambah, kami pun berhenti. Lalu sadar
bahwa di depan kami gak ada siluet dari Pak Su’ep. Dan kami sukses kesasar.
Yaa, tersesat/kesasar/lost/etc.
Gue dan Wahyu bingung mau
bagaimana. Gue mulai experimen dengan mengulum telunjuk dan mengangkatnya ke
udara agar tahu arah mana yang Pak Su’ep tuju. Kemana arah angin menerpa
telunjuk gue, ke arah sanalah kami berjalan. Dan akhirnya kami makin tersesat
lebih dalam, dan lebih dalam, jauh lebih dalam.
Kami berhenti di Komplek perumahan yang kami
kira luasnya lebih dari kota palembang. karena kami tak pernah menemukan jalan
keluar dari sana. Karena semakin panik, kami berniat berteriak. Berharap warga
disana menolong. Tapi kami urungkan karena takut rumor bahwa warga Tionghoa
disana adalah jelmaan siluman babi, itu benar.
“kita dimana yu ?” tanyaku cemas
“kita di komplek cina ky, komplek
yang isinya orang cina semua”
“JADI SEKARANG KITA NYASAR DI
CINA ?”
Gue tambah panik. Wahyu tambah
bete.
Sebenarnya kalo kami bisa keluar
dari komplek tersebut, kami bisa dengan mudah sampai di empang. Dan dasar kami
yang bebal, kami berjalan mengitari setiap lorong komplek yang sama. Dan
herannya kami tak melihat penampakan dari seorang manusia pun. Ini semua
warganya pada kemana ya ? gitu pikir gue.
Setelah berjalan lagi dan
tersesat lagi. Akhirnya solusi bin ajaib keluar dari otak Wahyu. Lantas dia
mengeluarkan pancing dari bungkusnya. Lalu menegakkan batang pancing itu
layaknya tiang bendera di sekolah.
“cup.. cup.. kembang kuncup, kalo
nggak kuncup bearti udah mekar.Wahai batang ajaib, berikan kami arah yang
benar”
Mantra setan keluar dari bibir
Wahyu. Lalu dengan gugup batang pancing itu dijatuhkannya. Plok... momen batang itu jatuh, layaknya slow motion seorang Neo
mau ditembak musuh. Efek slow motion seketika
aktif. Batang itu menujukkan arah ke sebuah rumah besar di depan kami. Aku dan
Wahyu bertatapan hening.
“kamu yakin yu, ini jalan yang
bener ?” tanya gue.
“pancing ajaib yang kubeli di
pasar pagi ini berkata gitu ky. Aku yakin” jawab wahyu sambil memanjat
pagar rumah yang tadi ditunjuk
pancingnya tadi.
Akhirnya dengan susah payah, gue
berhasil menyusul wahyu berada di dalam pagar rumah tadi. Kami mengendap-endap
masuk ke arah halaman belakang berharap menemukan empang yang Pak Su’ep maksud
ada dirumah ini. Dan yang kami temukan bukanlah empang, melainkan Kolam besar
berisi air warna biru yang tampaknya memanggil kami supaya nyebur kedalam nya.
Dan disekeliling kolam itu seakan ada taman yang sengaja dibuat mengelilingi
kolam.
Gue mengubah arah tujuan. Hendak
masuk ke kolam itu. Dan langsung dicegat Wahyu sambil melotot. Gue mengurungkan
niat gue. Dan kembali mengikuti wahyu dari belakang. Kami kembali
mengendap-endap.
“GUK !” sebuah suara menggelegar
dari arah belakang kami.
Gue dan Wahyu saling menatap dan
memperhatikan sekitar. Nihil. Kami tak mendapati asal suara itu. Kami
melanjutkan berjalan perahan kearah ujung taman itu.
“GUK ! GUK !”
Suara itu semakin mendekat saat
kebebalan merasuki isi kepala kami. Dan masih melanjutkan berjalan perlahan.
Tiba-tiba, ada sebuah bayangan
melompat ke arah depan kami. Gue dan Wahyu kaget bukan main. Dan gue langsung
berlutut minta pengampunan Allah. Gue lihat Wahyu diam tanpa berkata apa-apa
sambil bertingkah kayak ketakutan. Dan memang dia lagi ketakutan !
“GUK ! GUK ! GUK ! GUK !”
Kali ini sumber suara itu berada
tepat di depan kami. Seekor anjing Helder besar dan seram berwarna coklat gelap
menatap bengis ke arah kami.
“jangan lari. Dia gak akan ngejar
kalo kita gak lari” Wahyu berbisik sambil menarik baju gue dari posisi yang
entah sejak kapan gue sudah siap untuk berlari.
Gue mengangguk lalu diam. Dan
kembali menatap ketakutan. Berharap ada tulang yang terjatuh tepat di depan
anjing itu agar dia amnesia dengan keberadaan kami lalu jinak.
Dan harapan gue sirna. Perlahan
Anjing itu mendekat dengan gumaman seram. Menatap tajam dengan matanya yang
menakutkan. Aku semakin gemetar. Wahyu mundur perlahan sambil menarik tangan
gue. Dan anjing itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Dan bersiap melompat
dengan gigi-nya hendak menerkam kami. Aku memejamkan mata. Wahyu menatap siaga.
Entah apa yang hendak dilakukannya.
Saat anjing Helder itu semakin
mengurangi jarak antara kami, sebuah teriakan mengagetkan terdengar.
“BAMBANG, BERHENTI !”
“Bambang ?” sontak kami berdua
mengucapkan kata tersebut bersamaan dan saling pandang.
Sebuah suara merdu menusuk
telinga gue, telinga Wahyu, dan telinga Bambang, yang membuat kami serentak
menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar